Senin, 01 Juni 2009

Penyakit Ayah - Sebuah Cerpen Tentang Ayah


Aku mendengar bunyi klik. Aku melihat ayah menghidupkan lampu. Malam sudah larut, tapi ayah belum tidur. Ia mendekatiku. Raut wajahnya tampak gelisah. Aku menduga-duga, apalagi yang membuat ayah tak bisa tidur malam ini.

Ia duduk memperhatikan aku yang tengah mengerjakan tugas. “Belum tidur, Yah?” sapaku. Ia menggeleng pelan. “Aku buatkan ayah teh?” Aku menawarkan minuman yang paling disukai ayah.

“Boleh, tapi gulanya sedikit saja. Airnya hangat ya…” balas ayah.
Aku membiarkan ayah di ruang tamu sendirian. Akhir-akhir ini, ayah memang sering gelisah. Setiap saat, ia selalu mengeluh. Tidak hanya padaku, tetapi juga kepada kakak perempuanku, dan kakak laki-lakiku yang sudah tak tinggal di rumah ini lagi. Keluhan ini selalu kudengar setiap hari, sepanjang aku ada di rumah. Ibu mulai tampak kesal, tetapi ayah juga tak mau kalah. Karena yang dikeluhkan ayah adalah tentang ibu. Ayah berpikir ibu tak perhatian lagi padanya. Aku juga tidak mengerti, perhatian seperti apa yang ingin didapatkan ayah. Padahal, setiap hari aku melihat ibu menyiapkan segala kebutuhan ayah.

Setiap pagi, ibu membangunkan ayah untuk salat subuh. Aku mendengar mereka berbincang sambil menonton siaran berita pagi. Di sana, sudah terhidang minuman pagi untuk ayah. Bahkan, ibu tak pernah lupa menyediakan roti atau kue goreng kesukaan ayah. Aku selalu menyaksikan keharmonisan mereka. Akan tetapi, ayah akan mengeluh jika ibu sudah sibuk di dapur, dan ia sendirian di ruang tamu. Saat itulah aku mulai mendengar keluhan. Sepanjang waktu, hingga beliau tidur. Kadang aku dan Nina, kakak perempuanku, terpaksa geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah ayah.
Beliau memang sudah tua.

Usianya sudah enam puluh tahun. Ibu bilang, itu namanya penyakit tua ayah. Tapi bukan itu persoalannya. Aku paham, ayah membutuhkan perhatian lebih, tetapi sikap nyinyirnya itu membuat kami kadang-kadang jengkel. Jika Ibu sudah tak tahan, mereka bertengkar. Ibu menyesalkan sikap ayah, tetapi ayah tak mau kalah. Ia menyalahkan semuanya karena perhatian ibu yang kurang. Aku dan Nina pernah mendiskusikan ini dengan ibu. Kami ingin tahu, apa yang dikeluhkan ayah. Ternyata persoalannya sederhana saja. Ayah ingin mereka tampak mesra. Ia ingin ibu berbicara dengan lembut. Memang, orang tua perempuanku ini memiliki suara yang agak keras. Tapi aku tahu persis, tidak ada satu orang perempuan pun yang sesabar dan selembut ibu, meski dari tuturnya, ia agak berteriak.

Sejak kecil, ibu dibiasakan bekerja keras. Dari usianya 15 tahun, ia telah berdagang bersama Nenek. Hingga aku tamat SMP, ibu masih berdagang. Faktor ini membuat ibu memiliki suara yang agak keras dibandingkan teman perempuan ayah yang kantoran. Seperti hari itu. Teman ayah dan istrinya datang ke rumah. Mereka datang ke kota kecil ini untuk berlibur sambil bersilaturahmi. Kami biasa menyebutnya dengan pulang kampung. Mereka telah lama tak bertemu. Sepanjang obrolan siang itu, mereka membahas kehidupan masing-masing. Tetapi sejak teman ayah pulang, sikap ayah berubah. Ia mengeluh lagi. Keluhannya kali ini memaksa ibu untuk berubah. Ayah menjadi nyinyir. Ia menyesalkan kenapa Ibu tidak bisa berbicara seperti istri temannya tadi. Lembut dan bersahaja. Aku melihat mereka bertengkar.

Semenjak kejadian itu, ayah tak hanya mengeluhkan cara berbicara Ibu. Setiap kebutuhan ayah yang tak dipenuhi Ibu, ayah mengeluh. Lebih parahnya, jika ayah minta dibuatkan masakan yang diinginkannya, tetapi Ibu lupa, sepanjang hari ia tak berhenti mengeluh. Kami dibuat pusing dengan tingkah ayah ini. Tiga hari lalu, ayah kangen makan anyang. Ia ingin dibuatkan lalapan khas orang Minang ini. Lalapan ini paling digemari ayah. Sampai kemarin, Ibu memang lupa membuatkan, karena ia sibuk. Hari ini, sepanjang hari, ia mengeluh. Aku terpaksa bergegas ke pasar membeli bahan-bahannya dan membuatkan untuk ayah. Setelah anyang terhidang, aku melihat raut wajahnya yang puas. Namun ia masih belum senang. Ia masih mengeluh.

“Ibumu itu tak pernah mendahulukan kepentinganku. Seharusnya ia yang membuatkan ini.”

Aku dan Nina benar-benar pusing. Ayahku semakin tua semakin manja. Kami membahasnya lagi, dan melibatkan Ibu bagaimana seharusnya menghadapi ayah. Aku tak menyangka apa yang kuterima. Ibu menangis. Ia letih dengan sikap ayah yang selalu menyalahkannya. Aku tak menyangka, ibu sangat tersiksa dengan sikap ayah. Nina dan aku sepakat membantu Ibu memperhatikan kebutuhan ayah. Kami bagi tugas. Bagian terpenting yang harus diperhatikan adalah ucapan ayah. Kami tak ingin ayah meminta sesuatu dua kali. Jika ia ingin, sedapat mungkin, aku, Nina dan Ibu menyediakannya.

Kali ini, ayah ingin makan bakso. Aku bergegas membelikannya. Sampai di rumah, ia melahapnya, tetapi masih mengeluh juga. Rupa-rupanya, ayah ingin makan bakso berdua dengan ibu. Aku dan Nina jadi tertawa. Ayah ini aneh-aneh saja. Kami menyuruh Ibu bersiap-siap mengajak ayah pergi. Mungkin ayah ingin keluar dengan Ibu. Tak kusangka, kali ini Ibu yang mengeluh. Ia sedang tak ingin keluar, katanya. Aku dan Nina benar-benar dibuat pusing oleh mereka.

Nina baru selesai memasak ketika aku tiba di rumah. Seperti biasa, ayah menonton di ruang tamu. Ibu ada di kamar. Jika aku tak di rumah, Nina yang memperhatikan kebutuhan ayah. Mulai dari makan, pakaian, hingga sesuatu yang diinginkannya tiba-tiba. Jika aku di rumah, aku yang menggantikan tugas Nina.

Sejak kesepakatan ini dilakukan, keluhan ayah agak berkurang. Dalam satu hari, kami hanya mendengar tiga sampai empat kali ayah mengeluh. Biasanya, ketika ia ingin makan. Suasana di rumah agak terasa menyenangkan. Akhirnya, kami bisa tenang.

Kenyamanan itu berlangsung seminggu. Satu minggu berikutnya, ayah mengeluh lagi. Lagi-lagi, ia mengeluhkan hal yang sama, tentang perhatian Ibu padanya. Apa sebab? Sore itu, abangku datang ke rumah. Ia mengajak istri dan anak-anaknya. Kedatangan mereka cukup menghibur ayah, tetapi lama-lama membuat penyakit tua ayah kambuh lagi. Sepanjang Hendra di rumah, ayah mengeluhkan Ibu. Sama seperti yang ia keluhkan kepadaku dan Nina. Awal-awal, Hendra mendengarkan saja. Jika ada waktu yang tepat, barulah ia menyelipkan nasehat untuk ayah. Tapi ayah tak mau kalah. Ia menepis semua nasehat itu. Hendra kewalahan dan sadar, penyakit tua ayah terlalu cepat. Kami pun tersenyum mendengar Hendra mengeluh.
Sejak kejadian itu, ayah menambah satu tempat lagi untuk mengeluh. Jika kami di rumah membiarkan ayah, ia akan menelepon Hendra. Selama di telepon, ia mengeluh, kadang-kadang terdengar juga tentangku dan Nina. Aku benar-benar letih. Kami membiarkan ayah mengeluh, hingga ia capek dan tertidur pada malam harinya.

***
Akan tetapi, malam ini ayah mendekatiku. Aku tak ingin mendengarnya mengeluh. Aku menghidangkan teh hangat yang diminta ayah tadi, lalu mengerjakan tugas kuliah yang belum selesai. Malam ini, aku benar-benar tidak ingin diganggu. Jika aku mendengarkan ayah, bisa-bisa besok pagi aku terburu-buru menyiapkan tugas kuliah. Aku menunduk saja, mengabaikan ayah yang memperhatikanku.

“Tugas kuliahmu masih banyak?” tanya ayah tiba-tiba.
Aku mengangguk cepat, ”banyak sekali yah,” jawabku.
Ayah mengangguk. Ia menghirup teh hangat yang kubuatkan. Ia beranjak pergi. Aku memperhatikannya yang gelisah di depan TV. Tumben, malam ini ia tidak mengeluh. Aku jadi ingat peristiwa minggu lalu. Ibu heran ketika aku dan Nina tiba-tiba berangkat ke rumah Hendra. “Satu minggu saja, Bu,” jawab Nina. “Iya Bu, aku ingin ikut, bosan di rumah mendengar ayah hanya mengeluh dan mengeluh,” jawabku.

Ibu mengangguk. Dan ayah? Lagi-lagi, ia mengeluh karena kami semua pergi meninggalkannya.

“Si Aini jangan dibawa, Nin,” ayah mencegahku.
“Siapa yang memperhatikanku nanti,” lagi-lagi ayah mengeluh.
“Sabar Yah, cuma satu minggu saja,” tawarku manja.
Mereka melepaskan kami dengan berat hati. Selama seminggu, kami pergi dan membiarkan ayah menjalani hidupnya berdua dengan ibu. Siapa tahu, jika kami pulang, ia tidak mengeluh lagi.

Ketika kami belum seminggu menginjakkan kaki di rumah Hendra, ayah menelepon. Aku berharap ayah dan ibu baik-baik saja. Aku memperhatikan mimik wajah Nina dan Hendra. Keduanya menyiratkan kekhawatiran yang amat sangat. “Ada apa?,” tanyaku mendesak mereka. Nina geleng-geleng kepala.

“Kalian harus pulang,” jawab Hendra. “Ibu bertengkar hebat dengan ayah.”
Aku ternganga. Apa yang kuharapkan tidak terwujud. Aku menyesalkan keduanya yang tidak bisa saling memahami. Sebelum pulang, Hendra menitipkan pesan untuk ibu. Ia berharap, dengan pesan yang disampaikannya ini, antara ayah dan ibu bisa saling mengerti.

Setiba di rumah, aku menyaksikan keduanya hening. Mereka saling membuang muka. Aku mendengar ayah mengeluh habis-habisan, lalu aku mendengar ibu menangis. Akhirnya, kami meminta ibu untuk berlibur ke rumah cucunya. Seperti pesan yang dititipkan Hendra, ia meminta ibu untuk datang ke rumahnya. Ibu setuju. Ia berangkat dua hari setelah pertengkaran hebat tersebut. Ibu membawa beberapa lembar pakaian, dan kulihat ayah juga tak keberatan. Hendra menjemput ibu ke rumah.

Sejak hari itu, aku tak lagi melihat ayah mengeluh. Akan tetapi, malam ini ayah mendekatiku. Aku benar-benar tak ingin mendengarnya mengeluh. Aku menghidangkan teh hangat, lalu pura-pura mengerjakan tugas kuliah. Aku tidak ingin diganggu. Jika aku mendengarkan ayah mengeluh, bisa-bisa aku terlambat tidur. Mendengarkan ayah curhat, jauh lebih lama dibandingkan mendengarkan ustad ceramah di masjid. Aku menunduk saja, mengabaikan ayah yang memperhatikanku.

Ayah menghirup teh hangatnya, agak lama. Ia masih gelisah di depan TV. Tiba-tiba, aku mendengar suara ayah, tetapi ia tidak mengeluh. Entah kenapa, ucapan ayah itu membuat aku terhenyak, “Aini, ibumu kapan pulang? Aku merindukannya…”
Aku ingin ibu mendengar apa yang diucapkan ayah barusan.***

by: Ria Febrian, Mahasiswa Sastra Indonesia Sastra Universitas Andalas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar